Sabtu, 14 Juli 2007

DAU, Uang Umat untuk Karyawan Depag

Tepat pertengahan Juni lalu, Kepolisian RI memberi kabar penting. Tim Penyidik Markas Besar Polri memblokir Dana Abadi Umat (DAU) dan dana kesejahteraan karyawan Departemen Agama. Jumlahnya sekitar Rp. 680 miliar.

Pemblokiran, kata Juru Bicara Polri Brigjen Pol. Soenarko, dilakukans etelah tim penyidik bersama tim audit Badan Pengawan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) melakukan audit investigasi penyelenggaraan haji di Jeddah, Arab Saudi. Ini menindaklanjuti berbagai temuan Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tim Tas Tipikir) terhadap Departemen Agama.

Perintah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kepada Tim Tas Tipikor untuk mengambil langkah hukum terhadap dugaan penyelewengan dan di badan-badan pemerintah. Tak tanggaung-tanggung, Presiden menyebut 16 BUMN, empat departemen, tiga pihak swasta dan 12 koruptor yang melarikan diri ke luar negeri yang harus diburu. Berita yang dikabarkan Polri jadi bukti keseriusan para penegak hukum atas dalam melakukan perintah SBY.

DAU dikumpulkan berdasarkan Keputusan Presiden No. 22/2001 yang dikeluarkan bekas presiden Abdurrahman Wahid. Dana diperoleh dari hasil efisiensi biaya penyelenggaraan ibadah haji dan dari sumber lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pengadaan DAU ini dilakukan sejak zaman Tarmizi Taher. Sejak awal, hanya bunga dari dana ini yang boleh digunakan. Dana pokoknya tak boleh dipakai.

Dana ini masuk kategori non-APBN dan dikelola oleh sebuah badan yang diketuai oleh Menteri Agama. Pengelolaan dana diamanatkan untuk umat dalam bidang, antara lain pendidikan, dakwah, kesehatan, sosial, ekonomi, pembangunan sarana dan prasarana ibadah, serta penyelenggaraan ibadah haji.

Pada era Tolchah Hasan, pendapatan bunga DAU sekitar Rp. 3 miliar per bulan. Menurut pengakuan Tolchah menjawab pertanyaan wartawan tentang kabar dirinya akan turut diperiksa, dana itulah yang biasanya dibagikan untuk membantu masjid, madrasah dan lainnya.

Malik Fajar, penerus Tolchah, mengaku tidaklah mudah menggunakan DAU. Sebab, setiap pengeluaran di atas Rp. 1 miliar harus seizin Presiden.

Dalam laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), tahun 2001 adalah tahun dimana terjadi penyimpangan pengelolaan dana abadi yang terbesar yakni Rp 13,4 miliar. Sementara untuk tahun-tahun sebelumnya, 2002 dan 2001, jumlahnya lebih kecil yakni Rp. 3,5 miliar dan Rp. 1,4 miliar.

Tiga tahun penuh ‘penyelewengan’ ini yang menyeret bekas Direktur Jeneral Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji Taufik Kamil. Taufiklah orang pertama yang masuk ke dalam daftar tersangka yang disusun oleh Tim Tas Tipikor. Sejak tanggal 17 Juni 2005, Taufik resmi jadi salah satu tersangka yang ditahan di ruang tahanan Mabes Polri. Penahan dilakukan satu hari setelah bekas Metneri Agama Sayid Aqil al-Munawwar, juga resmi jadi tersangka utama ke dua kasus yang sama.

Sementara, Sayyid Aqil jadi salah satu tersangka setelah audit investigatif BPK menemukan 11 penyimpangan BPIH pada Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam senilai Rp. 59,8 miliar. Tak hanya itu, Sayyid Aqil juga dicurigai telah menyimpangkan dana dapa Bidang Urusan Haji di Jeddah senilai Rp. 49,33 miliar. Banyak bagian yang ‘ditangani’ Sayyid Aqil. Pertama kontrak sewa jaringan Sistem Komputerisasi Haji Terpadu (Siskohat). Sayyid Aqil kemungkinan telah ‘melebihkan’ perhitungan sewa kontrak sebesar US$ 7380. Biaya sewa komunikasi lebih mahal dibanding provider lain yang menyebabkan potensi kerugian negara dari kontrak Siskohat sebesar Rp. 638,11 juta.

Untuk transportasi, tim BPK juga menemukan keterlibatan Sayyid Aqil dalam penambahan biaya udara US$ 32 per jamaah. Jika diakumulasi, maka nilai mark up mencapai Rp. 22 miliar untuk seluruh jamah. Ada pula sisa kursi sebanyak 1336 seat senilai US$ 1691,59 yang tidak diketahui peruntukannnya serta kelebihan bayar US$ 1440 kepada Garuda.

Urusan pemondokan pun, Sayyid Aqil dinyatakan terlibat. Ini didasari pada laporan keuangan Bidang Urusan Haji Konsulat Jenderal RI di Jeddah untuk biaya pemondokan, katering, dan transportasi jamaah haji. Kemana dana itu pergi? Rupanya, Taufik yang kemudian mengalihkannya untuk kegiatan abadi internal Departemen Agama, antara lain untuk kesejahteraan karyawan. Dan itu, terjadi kala Sayyid Aqil menjabat sebagai Menteri Agama.

Atas segala tindakan penyelewengan itu, Taufik dikenai dakwaan melanggar UU Antikorupsi Nomor 30 Tahun 1999 dan UU Nomor 20 Tahun 2001. Dakwaan yang sama juga ditimpakan kepada bekas atasnnya, Sayyid Aqil. Belakangan, 23 Juni 2005, bekas petinggi keturunan Arab itu harus rela 'bergabung' dengan Taufik di ruang tahanan Mabes Polri. Polisi menahannya setelah melakukan pemeriksaan selama kurang lebih 11 jam di hari yang sama.

Tak ingin jadi pesakitan dalam kasus ini, Sayyid Aqil dan Taufik akhirnya saling lempar tanggungjawab. Menurut Taufik, "Sayyid Aqil paling bertanggungjawab dalam pembuatan keputusan Menteri Agama. Pembuatan keputusan Menteri Agama sesuai prosedur. Direktur Jenderal tidak mungkin melawan atasannya." Sementara, menurut Syyid Aqil, "Taufik mengabaikan kepercayaan Menteri Agama. (Disana) hanya tertera tanda tangan DIrektu Jenderal Bina Masyarakat Islam dan Urusan Haji, Taufik Kamil, tanpa tanda tangan Menteri AGama dan Sekretaris Jenderal. Keputusan Menteri Agama cacat hukum."

Sayyid juga 'tak lupa' melempar bola panas ke tangan pejabat-pejabat lain. Dalam pemeriksaan sebelum penahanan, pengacaranya, Ayuk F. Shahab, menyebut bekas anggota DPR sebagai penerima rutin DAU untuk naik haji. Mereka antara lain Jusuf Kalla dan istri, Hatta Radjasa dan istri, Bachtiar Chamsyah dan puterinya, Akbar Tandjung beserta istri, dan Syamsul Mu'arif beserta istri.

Tertuding, seluruhnya, mengaku tidak tahu kalau saat Depag memberangkatkan mereka ke Mekkah menggunakan dana umat. "Saya berangkat juga karena jadi amirulhaj," tegas Jusuf Kalla.

Belakangan, bukan kalangan DPR saja yang harus 'gerah' dengan pernyataan kuasa hukum Sayyid Aqil. Tim Tas Tipikor juga menemukan setoran dana dari rekening DAU ke Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Selama tiga tahun, BPK menerima Rp. 2,01 miliar plus US$ 25600 yang diberikan dalam delapan ali setoran.

Setoran-setoran itu pun berpola sama. Awalnya, ada permintaan BPK agar departemen yang diperiksa menyetor ke Yayasan BPK sebagai pendapatan negara bukan pajak (PNBP) dan melaporkannya ke Sekretaris Jenderal BPK. Kedua, ada setoran itu bersifat langsung tanpa permintaan resmi BPK atau transfer ke rekening BPK di kantor kas negara.

Kisah ini belum berakhir. Tim Tas Tipikor harus rela kerja rodi untuk menelisik lebih jauh lagi. Tunggu saja, ada kejutan apa lagi dari tim besutan Presiden ini.

Wah hancur bangat klo sempat seorang menteri agama koruptor tapi itulah indonesia Hanya kekuatan agama aja yang di anggarkan. gimana ngak ngikut instansi kenegaraan yang lain menghisap uang rakyat sedangkan Menteri Agama sendiri Memakan Uang rakyat.
Sangat Memalukan.

Tidak ada komentar:

Mengenai Saya